Gara-gara Kembang Gula

“MAMA, aku ingin kembang gula itu,” rajuk Doni pada Mama.

“Aduh, Doni, sekarang kamu tidak boleh makan kembang gula lagi. Tuh, lihat, gigimu warnanya sudah coklat. Nanti sakit lagi,” Mama menasehati.

“Tidak mau. Doni pengin kembang gula.” Doni terus memaksa. Bibirnya bergetar. Kedua bola matanya sembab dan memerah. Sebentar lagi tangisnya meledak.

Mama menyerah. Beliau cepat-cepat memanggil tukang kembang gula yang sedang menjajakan dagangannya sebelum suara tangis Doni mengganggu orang-orang yang sedang berbelanja di pasar itu.

Doni tersenyum. Tidak tanggung-tanggung. Lima kembang gula digenggam erat-erat. Seolah-olah kembang gula itu akan dicuri orang. Ya, ia tidak mau makanan kesukaannya itu dipinta orang.

Sepulang belanja dari pasar, mama segera pergi memasak untuk makan siang. Doni berlari ke depan rumah. Dia akan bermain-main di sana sambil menikmati hisapan kembang gula.

“Doni, mandi dulu, baru main lagi.”

“Ah, Mama. Ini kan hari libur,” sanggahnya.

“Meskipun hari libur, kita harus tetap menjaga kebersihan. Sudah sana pergi mandi. Jangan lupa menggosok gigi, ya. Gigimu sudah hampir bolong-bolong, tuh.”

Mama membimbing Doni ke kamar mandi. Lalu menyerahkan handuk kecil pada Doni. Mama kembali ke dapur.

Sambil merengut, Doni berjalan menuju kamar mandi. Tidak lama, dia sudah keluar dengan badan segar. Segar tapi mandi dengan tidak memakai sabun.

Juga tidak menggosok gigi. Ih, jorok. Doni memang sering melakukan itu. Dia tidak mau menuruti nasehat Mama.

“Sudah selesai mandinya, Don?” tanya Mama sambil membawa piring-piring kotor ke dapur.

“Sudah, Ma. Ini lihat. Beresih, kan,” jawabnya sambil berlalu menuju lemari pakaian.

Mama melihat sekilas, karena sibuk dengan pekerjaan pagi itu. Lalu, pergi lagi ke dapur. Dan Mama masih harus ke depan lagi. Masih ada piring-piring kotor yang belum diangkut ke belakang.

Tiba-tiba Doni muncul dengan pakaian rapi dan menenteng layangan. Kembang gula yang tadi pagi, dimasukkannya ke dalam kantong celana. Penuh.

“Doni, jangan lupa, siang harus pulang. Mama sedang menyiapkan makanan. Kamu harus makan siang. Nanti Mag-nya kambuh. Masih ingat kan kemarin Pak dokter bilang apa?” Mama mewanti-wanti sebelum Doni pergi bermain.

“Tenang saja, Ma. Doni pasti pulang. Kan lapar.” Dengan cepat Doni sudah sampai di halaman rumah. Dia akan mengajak Farhan bermain layangan. Mama hanya menggelengkan kepala. Lalu pergi ke dapur lagi.

Hari sudah siang. Mama masih menunggu Doni untuk makan siang bersama. Kebetulan Papa sudah pulang dari bengkel. Papa menyervis mobil yang biasanya dipakainya untuk bekerja. Sebab, hari senin masuk kerja dan tidak mungkin pergi ke bengkel.

“Doni, ke mana, Ma?” tanya Pak Sukanto.

“Tadi pagi main layangan. Janjinya sih akan pulang cepat,” jawab Mama.

Tidak lama, Doni muncul sambil menangis. Salah satu tangannya memegangi pipi kanannya. Semakin dekat dengan Mama, Doni menangis tambah keras.

“Doni, kenapa? Ada apa, Nak?” Mama cemas. “Ayo sini. Coba sekarang ceritakan pada Mama. Kenapa pipimu?”

Tangisnya bertambah keras. Papa ikut cemas, “Doni, lihat Papa. Coba ceritakan. Ada apa?”

“Gigi Doni sakit…” akhirnya Doni berbicara.

“Oo..” Mama dan Papa hampir bersamaan.

“Jadi, kembang gula itu penyebabnya?” kata Mama. “Mama kan sudah bilang, jangan terlalu banyak makan kembang gula. Nanti giginya sakit. Eh, ngomong-ngomong, tadi pagi, waktu mandi, Doni menyikat gigi nggak?”

Doni menggeleng. Tangisnya tidak berhenti. Bertambah keras.

Akhirnya Mama mengolesi pipi Doni dengan balsem. Supaya sedikit reda sakitnya.

“Sekarang tiduran saja dulu. Setelah Mama dan Papa makan siang, kita ke dokter gigi.”

Mama dan Papa cepat-cepat makan siang. Mereka merasa kasihan dan sayang pada Doni. Walaupun Doni sering tidak menuruti nasehat Mama atau Papa.

Tidak ada yang dilakukan Doni selain mengaduh dan memegangi pipinya. Air matanya kini benar-benar mengalir.

Dia menangis terus menerus. Baru kali ini Doni merasakan sakit gigi. Dia tidak membayangkan sebelumnya bagaimana rasanya sakit gigi. Huh, sakit sekali.

Setelah selesai makan bersama Papa, Mama membawa Doni ke dokter gigi. Kebetulan tempat dokter gigi tersebut tidak terlalu jauh dari rumah. Mama akan memeriksakan gigi Doni pada dokter spesialis gigi.

Dokter mulai memeriksa. Benar saja, gigi Doni bolong. Dokter memberesihkan gigi Doni dengan alat khusus.

Doni mengaduh, sakit. Lalu menangis keras. Dokter menghentikan kegiatannya memberesihkan gigi Doni.

“Tenang, Don. Tidak apa-apa. Nanti sembuh. Tolong buka lagi mulutnya. Nah, begitu.” Dokter membujuk Doni. Setelah selesai dokter menyerahkan resep obat kepada Mama.

“Doni, jangan lupa menggosok gigi yang rajin, ya,” dokter mengingatkan.

Sakit gigi Doni mereda. Beberapa hari sudah sembuh lagi. Tetapi dia tetap tidak mau meninggalkan kegemarannya memakan kembang gula. Dan, nasehat dokter supaya rajin menggosok gigi, juga tidak dihiraukannya.

Mama sudah sering menasehati suapaya Doni mengurangi kegemarannya memakan kembang gula.

Selain itu, Mama juga sering menyuruh Doni untuk rajin menggosok gigi. Tetapi Doni sering mengabaikan saran-saran Mama.

Tidak terasa, ujian sekolah tiba. Doni bersiap-siap untuk menghadapi ujian. Dia harus memertahankan peringkatnya di kelas. Bahkan, dia harus meraih peringkat pertama atau kedua.

Sebab, Papa sudah menjanjikan, kalau Doni naik peringkat dari ketiga ke kedua atau pertama, Papa akan memberi hadiah sepeda gunung yang baru. Wah, pasti enak dipakai. Sepeda gunung itu ringan dipakainya.

Doni bekerja dengan giat. Pada pekan tenang, dia terus belajar dan belajar. Kegiatan main layang-layang, dia tinggalkan. Sekarang, hari-harinya selalu diisi dengan belajar.

Tentu saja dengan ditemani kembang gula. Rasanya, Doni tidak mau melepaskan kegemarannya yang satu ini.

Sebelumnya, Doni memang rajin belajar, walaupun sedikit nakal. Sekarang, Papa menjanjikan hadiah sepeda gugung yang baru.

Belajarnya bertambah rajin. Ya, karena Doni akan mendapatkan hadiah itu. Dia yakin akan mendapatkannya.

Besok ujian sekolah dimulai. Doni bersiap-siap akan menghadapinya. Ya, dia sudah menyiapkan semuanya. Semua pelajaran sudah dipelajari berulang-ulang.

Dia tinggal menunggu soal-soal yang akan dibagikan Bu Rina dan akan dijawabnya dengan gampang.

Pagi-pagi Doni berangkat sekolah.

“Doni, sarapan dulu. Nanti perutnya sakit.” Mama menyarankan.

“Tidak usah, Ma. Kalau ujian kan, Doni pulangnya cepat.” Doni beralasan.

Doni cepat-cepat minta pamit dan berlari menuju tempat sepeda disimpan. Lalu, berangkat dengan riang. Mama selalu tidak bisa memksa Doni.

Sebab, anak semata wayangnya itu tidak boleh diberi tekanan yang terlalu. Tetapi Mama juga selalu bingung dengan sikap bandel Doni.

Menjelang siang, Doni pulang sambil menangis. Mama heran. Ada apa lagi dengan Doni? Doni langsung menuju kamarnya. Tangannya terus memegangi pipi kanannya. Wah, sakit gigi Doni kambuh lagi. Bagaimana ini?

Mama tersenyum tipis. Lalu cepat membaluri pipi Doni dengan balsem. Dan akhirnya Mama cepat-cepat membawa Doni ke dokter gigi lagi.

Hari ini dokter gigi yang biasa memeriksa Doni sedang pergi ke kampung halamannya. Katanya sih ada urusan keluarga.

Akhirnya, Mama harus mencari dokter lain. Dan, tempatnya lebih jauh daripada tempat dokter yang lama. Terpaksa, Mama naik angkot dengan Doni. Sebab, Papa belum pulang kerja. Mobilnya tidak bisa digunakan.

Di perjalanan, Doni terus menangis dan memegangi pipi kanannya. Para penumpang lain di angkutan itu serentak memandangi Doni. Ada yang terlihat merasa iba, ada juga yang merasa terganggu dengan suara tangisnya.

Setelah beberapa kali bertanya, sampailah Mama dan Doni di tempat praktek dokter gigi. Doni diperiksa. Dokter memutuskan untuk menambal gigi bolongnya.

Sekarang dokter sudah bersiap akan menyuntik gusi Doni supaya tidak terasa sakit. Melihat jarum suntik, Doni terperanjat. Dia ketakutan sambil berteriak-teriak supaya tidak disuntik.

“Tidak apa-apa, Doni. Nanti juga dingin gusinya dan giginya tidak akan sakit lagi,” bujuk dokter.

“Dokter bohong!” matanya melihat ke arah Mama, “dokter bohong kan, Ma?”

“Dokter tidak bohong, Doni. Percaya saja sama dokter. Doni pengin sembuh, kan?” kini Mama meyakinkan anaknya.

Dokter tersenyum. Tangannya mengusap kepala Doni. Lalu menyuruh Doni untuk membuka mulutnya. Akhirnya Doni menurut.

Jarum suntik menusuk gusi. Bagian gusi di dekat gigi yang bolong terasa dingin dan kaku. Tidak terasa. Seperti ditempeli es. Dingin.

Doni heran.

“Ma. Kok enak, ya,” katanya.

Mama tersenyum, memberi dukungan. Dokter terus bekerja. Akhirnya selesai sudah pekerjaan menambal gigi. Sekarang gigi Doni sudah tidak sakit lagi dan bolongnya sudah tertutup rapat.

“Sekarang, Doni harus janji. Tidak akan makan kembang gula lagi dan rajin menggosok gigi!” setelah sampai di rumah, Mama meminta anaknya berjanji.

“Doni janji, Ma. Janji!” akhirnya anak itu menuruti nasehat Mama. Lalu pergi ke kamar cepat-cepat.

“Ee.. mau ke mana?” Mama heran.

“Doni harus dapat hadiah sepeda gunung, Ma…”

Setelah giginya tidak sakit lagi, Doni belajar lagi karena dia ingin sekali hadiah sepeda gunung yang sudah dijanjikan Papa.

Dan dia sudah jera: tidak akan makan kembang gula lagi dan akan rajin menggosok gigi. Kalau sakit, kan, akan mengganggu belajar. Bagaimana nanti bisa mendapat hadiah sepeda gunung?[]

Tinggalkan komentar